About Me

Sunday, May 8, 2011

HANYA INGIN MEMANGGILMU AYAH


03.00
Terpajang setia di jam dinding sudut kamarku. Aku kembali terjaga dengan bulir keringat dingin sebesar jagung di keningku. Hhhhhhhhhhh... mimpi buruk lagi. Haruskah aku kembali ke kelas dengan mata bengkak dan lingkaran hitam di sekitar mataku lagi? Aku sedang tak ingin meladeni setiap pertanyaan konyol tentang berapa jam kupejamkan mata malam ini. Oh.. aku lupa, mungkin pagi ini tak perlu kuladeni pertanyaan itu karena kuyakin tak akan ada lagi yang akan bertanya.
 Kubangkitkan tubuhku, nyeri terasa sangat menyiksa di seluruh bagian tubuhku. Tentu saja, pasti nyeri itu terasa pagi ini. Aku terguling dari tangga di kampus itu kemarin hanya karena terpeleset. Tangga sialan itu yang mengungkap kenapa aku selau terjaga satiap malam.
Kurasakan dingin menyentuh ujung hidungku saat kubuka jendela. Terlihat taman yang tertata rapi, dengan butiran embun di setiap ujung dedaunannya. Melihat taman itu membuatku semakin perih. Aku sudah lelah menangis. Kebiarkan jendela tetap terbuka agar dingin itu menelusup hatiku.
Aku berjalan dan duduk di sudut tempat tidurku. Kupeluk lututku, bukan karena dingin. Aku hanya ingin membuat diriku merasa aman.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka perlahan, sosok mirip perempuan mengintip di balik pintuku.
“Kau terbangun lagi?”, tanyanya.
Aku diam dan memalingkan wajahku.
“Maafkan aku, aku tak bermaksud membebanimu dan mempermalukanmu. Kemarin aku sangat khawatir padamu hingga kuputuskan untuk menjemputmu di kampus. Aku tahu kau sangat kecewa padaku. Andai saja kau tahu betapa inginnya aku untuk tidak menjadi seperti ini, tapi aku tak bisa dan kau tahu aku telah berusaha”.
Aku menatapnya, dia terlihat anggun dengan balutan gaun tidur. Rambutnya terurai panjang, dan menurutku dia terlihat cantik meski tanpa make up. Tapi semua itu semu dan aku benci ketidaknyataan ini!
Kulihat dia mencoba masuk dan mendekati tempat tidurku.
“Pergilah! Aku ingin kembali tidur!”, kataku, dan itu membuatnya berhenti melangkah.
“Maafkan aku, dan bagaimanapun kau tetap anakku. Dan bagiku, kau adalah anugrah yang paling sempurna dibalik ketidaksempurnaanku ini!”.
Kurasakan panas meliuk naik dari punggung ke wajahku, dan hangat mengalir lembut di pipiku. Tapi hal yang paling kurasakan adalah perih yang menusuk dadaku.
Kembali terbayang masa-masa saat kulihat dia berusaha menjadi normal, semakin dia berusaha, semakin jelas terlihat bahwa dia tersiksa. Hingga aku pun tak lagi mampu melihatnya menangis sambil memelukku. Itu masa yang sangat menyakitkan.
“Anakku, kau anakku! Kau harapanku! Andai saja aku bisa meminta Tuhan untuk memilihkan orang tua yang lebih baik untukmu, aku pasti tak akan ragu menumbalkan hidupku demi semua itu!”, dia terduduk dan kembali menangis.
“Aku tahu kau sangat marah karena kemunculanku di depan teman-temanmu kemarin. Aku benar-benar menyesal dan aku mohon maafkan kelakuanku bodohku kemarin. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu merasa lebih baik.”, katanya lagi.
“Keluarlah, aku sedang ingin sendiri!”, kataku pelan.
Kulirik dia, pelan-pelan dia mencoba bangkit dan berjalan menuju pintu.
“Ayah, bisakah aku memanggilmu Ayah?”, kataku. Kali ini aku tak lagi mampu menahan tangisku.
Dia berhenti berjalan dan menangis lagi. Entah mengapa dia menangis, tapi aku menangis karena ku yakin aku yang membuatnya menangis.
Cerita lama pun terulang, kami berdua menangis diiringi suara Adzan.

No comments:

Post a Comment