About Me

Monday, May 9, 2011

Embun

Pagi ini aku kembali terbangun. Entah naluri dari mana yang merangsang mataku untuk terbuka di pagi yang masih gelap ini. Rasa nyeri menjalar di sekujur tubuhku. Letih yang bertumpuk bahkan mungkin membuatku tak nyaman tidur semalam. Kusadari aku tak terbaring, tapi bersandar di meja dengan laptop yang masih menyala. Kulihat jam, terpajang angka 04.04, masih sangat pagi. Perlahan aku beringsut mematikan laptop dan beralih ketempat tidur. Ingin rasanya kubaringkan sejenak tubuhku yang ternyata memang tak diijinkan karena dering HP di sampingku.
“Hari ini pukul 11.00 diharapkan kehadiran teman-teman di aula untuk fiksasi persiapan seminar Interasional yang tinggal dua hari lagi. Terima kasih dan tetap semangat!”

Jam 11.00, jadwalku kuliah statistika. Dua kali aku bolos, itu artinya aku masih punya dua kali lagi kesempatan bolos atau aku tidak akan lulus mata kuliah ini. Bagus, paling tidak masih aman untuk bolos nanti siang.
Aku bangkit dari tempat tidurku, berjalan malas menuju jendela kamarku. Perlahan udara dingin mulai menelusup masuk melalui celah jendela yang kubuka. Dingin mulai menjalari tubuhku, membasuh nyeri yang sedari tadi membelengguku. Kulayangkan pandanganku, masih gelap, hanya embun yang terlihat menyelimuti. Suasana damai yang mampu membiusku dan memberiku kekuatan untuk bertahan di sini.
Dua setengah tahun bertahan di jogja tanpa bantuan orang tua ternyata bukan hal yang mudah. Seperti halnya aku harus mampu memapah sendiri badanku tanpa bantuan siapa pun. Di rumah ini, dengan 9 kamar dan 10 penghuni di kompleks perkampungan, aku bernaung dan sejenak mengistirahatkan badanku setelah 18 jam bergelut dengan waktu dan aktivitasku. Kuliah, kerja, dan organisasi cukup menempaku untuk belajar membagi waktu.
Kembali kutatap embun, kedamaian menyejukkan hatiku, memberi kekuatan baru untuku bergerak hari ini. Kebayangkan semua aktivitasku hari ini, masih tetap sama seperti hari biasa. Keluar kos jam setengah 7 untuk kuliah, organisasi, kerja, masuk kos jam 11 malam dan langsung mengerjakan tugas. Aku bahkan tak tahu apakah malam ini aku punya waktu untuk sejenak menenggelamkan pikiranku di alam mimpi. Rasa nyeri kembali menjamah tengkukku.
Tanpa kusadari, sekarang aku sudah duduk di kelas. Dengan kantung mata yang masih sangat jelas terlihat.
“Semalem nggak tidur lagi?”, tanya Nanda yang ternyata mengamatiku dari tadi.
Aku meliriknya dan tersenyum. Aku memang tak ingin terlalu banyak bicara karena aku harus berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga.
Ada saatnya dimana kamu harus berhenti. Kamu tidak harus terus-terusan mempertahankan egomu hanya untuk membuktikan kalau kamu perempuan yang kuat. Aku tahu posisimu sulit akhir-akhir ini, tapi aku mohon istirahatlah sebentar. Demi kesehatanmu., selorohnya lagi.
Aku meliriknya lagi, Semalem aku tidur sebentar., ucapku sambil membereskan semua barang-barangku karena kuliah telah berakhir.
Mau ke aula?”, tanyanya saat melihatku beranjak. Aku mengangguk dan kurasakan dia menghela nafas. Aku sendiri tak pernah tahu apa artinya.
Suasana aula terasa panas. Entah karena memang siang ini memang panas, atau aura teman-temanku yang memanas. Lagi-lagi perselisihan yang tak terlalu penting tentang masalah kecil yang dikondisikan seakan mampu meledakan dunia. Semua masih tetap berkutat pada masalah dana dan target peserta yang ternyata hanya tercapai 70%. Kusadari uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang, semuanya terhambat. Satu setengah jam ternyata cukup untuk membuat mereka lelah dengan emosinya. Aura mereka sedikit mendingin saat tahu bahwa permasalahan itu bisa terselesaikan.
Kulirik jam di dinding aula, setengah satu, saatnya aku beranjak memenuhi kebutuhanku sendiri. Beralih ke sebuah distro tepat di depan kampusku. Sudah satu tahun lebih kuhabiskan siang dan malamku untuk bekerja sebagai staf di sana. Saat akan kuletakkan tasku di loker, terpajang tulisan, “hari ini laporan keuangan harus sudah jadi”. Kuhela nafas sedikit lega. Firasatku benar dan semalam telah kurelakan malamku untuk mengerjakan laporan keuangan. Dengan sales yang naik, kuyakin hari ini aku terbebas dari ceramah tentang strategi penjualan.
Semua berjalan cukup lancar hari ini. Pukul 12 malam, seharusnya aku tidur, tapi masih ada tugas yang memaksaku untuk tetap terjaga malam ini. Aku ingin esok hari akan selancar hari ini meski aku harus mengulang kelelahanku semalam.
Pukul 04.05, aku masih berkutat dengan laptopku, kupikir sebentar lagi aku bisa tidur. Aku salah lagi. HPku berdering, Mbun, kuliah Matematika yang jam 9 diajukan jadi jam 7 dan tugasnya mesti dikumpul pagi ini juga.”. kuhela nafas panjang.
Lagi-lagi jendela menjadi tempat paling indah pagi ini. Dingin yang sama seperti biasa masih setia menyambutku. Kudengar Hpku kembali berdering, “Mbun, ayahmu sakit lagi, sekarang opname di rumah sakit.”. Aku tertunduk, dingin ini tak lagi menenangkanku. Aku ingat saldo tabunganku yang kurasa masih cukup untuk membantu pengobatan ayahku. Untuk registrasi semester depan, aku bisa pinjam Nanda dan akan kukembalikan saat beasiswaku cair. Kupandangi embun di ujung daun melati. Embun, kupikir sekarang aku tahu mengapa namaku “Embun”, karena setiap waktu yang kulalui adalah pagi. Aku tak punya siang dan malam karena saat siang dan malam aku akan hilang.
Kurasakan perih menjalar dari perut ke ulu hatiku. Dadaku nyeri, kepalaku seakan tertimpa beban berpuluh-puluh ton. Rasanya sangat menyakitkan. Titik embun yang kulihat semakin kabur, tersamar, lalu hilang. Semua gelap. Terngiang kalimat dokter seminggu yang lalu, “Embun, ada infeksi di lambungmu. Sudah cukup kronis dan mulai menjalar ke hatimu. Jaga kesehatanmu, istirahatlah yang cukup, jaga pola makanmu. Ingat Mbun, jangan biarkan liver menyerangmu, kamu masih muda!”. Kubayangkan dua hari yang telah kulalui, semua hanya tentang kuliah, tugas, organisasi, dan kerja. Aku lupa makan. Rasa nyeri kembali menyesakkan dadaku. Aku tak lagi bisa bernafas. Sakit yang luar biasa membelengguku. Mataku panas dan aliran hangat menyapu pipiku. Aku lemas, dan dingin menyelimutiku.
Apakah ini malamku telah tiba pagi ini?
“Embun tak pernah tidur karena embun tak punya malam”

No comments:

Post a Comment