About Me

Monday, May 9, 2011

Wajah Pendidikan Indonesia dengan UN sebagai Penentu Kelulusan


Pendahuluan
Keinginanan untuk mengungkap fakta dari tulisan ini karena saya mendengar pernyataan seorang guru Sekolah Menengah. Beliau mengatakan, “Saya tidak peduli mereka pintar atau tidak, karena bagi saya selama mereka bisa lulus berarti mereka pintar”. Sebuah pernyataan yang tidak sepantasnya dilayangkan oleh seorang pendidik. Pernyataan tersebut seolah menvonis bahwa kelulusan adalah patokan utama dan satu-satunya dalam menentukan kepintaran seorang anak didik.
Kalau saja ada satu guru yang memiliki pandangan serupa dengan guru tersebut dalam setiap sekolah, maka hal tersebut pasti akan menggoyahkan pondasi pendidikan bangsa ini. Bagaimana tidak, ketika satu guru berfikir bahwa kepintaran anak didik akan ditentukan pada masa Ujian Nasional, pikiran tersebut akan mudah menular ke kalangan masyarakat, apalagi masyarakat awam. Tidak dapat dipungkiri bahwa sosok guru adalah sosok yang selalu membawa kebenaran di mata masyarakat, jadi bukan hal yang tidak mungkin bila akhirnya masyarakat pun menempuh jalur pemikiran yang sama. Kejadian tersebut akan berlanjut pada tuntutan masyarakat terhadap sebuah lembaga pendidikan untuk selalu dapat meluluskan setiap murid yang mereka ampu.
Kayakinan “lulus berarti pintar” ternyata tidak hanya berakhir pada tuntutan masyarakat semata, melainkan juga pada keinginan guru atau pihak lembaga untuk menjadi lembaga terbaik melalui jalan meluluskan semua anak didiknya dengan nilai terbaik. Tujuan yang akan ditempuh memang benar dan baik, namun sayangnya cara yang ditempuh terkadang menjadi aib pendidikan bagi bangsa ini. Apalagi dengan adanya standar minimal kelulusan, seolah menjadi sebuah sumbu semangat bagi para pendidik untuk “membuat” nilai kelulusan yang tinggi bagi anak didiknya. Membuat disini bisa berarti merencanakan atau memanipulasi. Ironisnya, fakta tesebut terjadi karena kesalahan sistem pendidikan yang tenyata berusaha dipungkiri oleh pemerintah.
Lalu, bagaimana hakikat pendidikan seharusnya? Apakah hakikat mencerdaskan bangsa sebagai salah satu dari empat tujuan nasional? Bagaimana sistem yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki pendidikan bangsa? Apakah UN dan standar minimal kelulusan adalah jalan satu-satunya? Apa yang menyebabkan adanya penyimpangan dalam pendidikan? Pertanyaan-pertanyaan yang saharusnya menggelitik hati kita melihat fakta yang terjadi.
Realita yang mengejutkan, Negara yang memiliki skor pendidikan tertinggi bukanlah Amerika, Jepang, apalagi Indonesia, melainkan Finlandia. Negara yang paling tidak korup di dunia. Finlandia mengalahkan 40 negara lain di dunia berdasar survey PISA yang dilakukan oleh OECD tahun 2003. Tes komprehensif dilakukan melalui pengukuran kemampuan mathematics, reading, science, dan problem solving yang nantinya akan menunjukan peningkatan kualitas sistem pendidikan. Tes ini dilakukan per tiga tahun — tes terakhir dilakukan pada tahun 2006 dan hasilnya baru akan keluar akhir 2007. Berdasarkan tes tersebut, Indonesia menempati posisi kedua dari bawah sebelum Tunisia dengan skor rata-rata 374,55 dari skor rata-rata total 484,51. Di bawah ini dikutip skor rata-rata yang menujukan posisi Indonesia.
Skor Total (rata-rata 484,51)
·         Finlandia (545,90)
·         Korea Selatan (541,29)
·         Hong Kong-China (536,83)
·         Jepang (531,79)
·         Liechtenstein (528,87)
·         …..
·         …..
·         Thailand (422,73)
·         Meksiko (393,56)
·         Brazil (379,84)
·         Indonesia (374,55)
·         Tunisia (365,69)
Fakta di atas ternyata mulai terabaikan. Terbukti dengan tidak adanya perhatian khusus dari pemerintah guna menanggapi hal tersebut. Padahal pendidikan merupakan salah satu fondasi bagi sebuah bangsa untuk bersaing dengan bangsa lain. Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan pretice bangsa di mata dunia. Namun ironisnya, pendidikan Indonesia justru menempati posisi yang memprihatinkan.

Hakikat Pendidikan
Menurut John Dewey, pendidikan adalah satu proses pertumbuhan dan perkembangan dan sebagai satu usaha mengatur pengetahuan untuk menambahkan lagi pengetahuan semula jadi yang ada pada seseorang individu itu. Dari definisi tersebut, maka pendidikan merupkana suatu bentuk penambahan pengetahuan bagi seorang individu.
Menurut Thomas Aquinas, pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. Thomas Aquinas berpikir bahwa pada dasarnya setiap manusia telah memiliki kemampuan-kemampuan namun masih balum aktif. Melalui proses pendidikan, diharapkan kemampuan yang belum aktif tersebut menjadi aktif sehingga dapat digunakan dalam kehidupan.
 James Mill menyatakan bahwa pendidikan adalah satu proses memberi pertolongan maksimum kepada setiap anggota satu-satu masyarakat supaya hidup dengan penuh keselesaan serta kegembiraan. Sedang menurut bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Beradasarkan definisi dari kedua tokoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pendidikan, seorang individu dapat menjalani hidup dengan labih baik.
Pendidikan adalah pemanusiaan manusia. (Driyakara). Definisi Driyakara yang singkat tersebut mengandung pengertian bahwa pendidikan tidak hanya berperan daam ilmu pengetahuan saja, melainkan juga berperan dalam pembentukan kepribadian sehingga sesuai dengan norma dan nilai yang diusung oleh komunitasnya. Pendidikan menjadi sarana untuk pembentukan moral seorang individu dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), pendidikan diartikan sebagi proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Poerbakawatja dan Harahap dalam Muhibbin Syah (2001) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang selalu diartikan sebagai kemampuan untuk bertanggung jawabterhadap segala perbuatannya.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha secara sadar dan sengaja untuk menubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa yang Sebenarnya
Salah satu dari empat tujuan nasional negara indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan tersebut tercantum dalam pembukaan UUD 1945. namun tujuan tersebut harus diterjemahkan kembali dalam tataran strategis. Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” mengandung tiga komponen pokok, yaitu cerdas, hidup, dan bangsa.
1.      Cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hafal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.
2.      Hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati ketika dengan santainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan. Kehidupan berupa semangat, nilai moral, dan tujuan hidup.
3.      Bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Manusia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tetapi tidak mau menyumbangkan apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu mempunyai kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak selain dengan doa ataupun aksi? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar yang di maksud adalah individu sebangsa.

Wajah Pendidikan Indonesia
Pendidikan Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Bagiamana tidak, pendidikan Indonesia hanya mementingkan tentang cara untuk memperoleh nilai baik dan ijazah dengan mengabaikan segi EQ dan SQ. Sekolah dan lembaga pendidikan yang lain seolah diciptakan hanya untuk menghafal, ulangan, lalu lupa. Tidak ada proses penekanan terhadap pengembangan sikap-sikap positif pada diri pribadi manusia dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian kognitif-psikomotor-afektif seperti tidak berfungsi dengan maksimal dengan sebab utama ketidakondusifan kondisi kelas.
Di Indonesia, kondisi guru sebagai tenaga pengajar pun masih perlu dipertanyakan. Guru di Indonesia hanya sekitar 60% yang layak mengajar, sementara sisanya masih perlu perbaikan. Guru masih suka menghukum anak didikanya di depan kelas dan menginginkan kesempurnaan hasil pada setiap proses pengajaran. Anak didik seolah diharamkan melakukan kesalahan.
Belum lagi anggapan bahwa jurusan pendidikan bukanlah pilihan elit untuk kelajutan studi. Lulusan Sekolah Menengah yang memiliki kecerdasan lebih cenderung memilih masuk ke jurusan-jurusan elit, seperti kedokteran, teknik sipil, teknik arsitek, dll. Ilmu pendidikan seolah sebagai wadah bagi mereka yang memiliki kecderdasan pas-pasan atau mereka yang kurang beruntung tidak diterima di jurusan “elit”. Fakta ironis yang semakin mencoreng dunia pendidikan Indonesia.
Sistem belajar masyarakat Indonesia masih terpaku pada 19.00-21.00, sementara 07.00-13.30 seolah hanya sebagi formalitas. Pada jam istirahat, peserta didik lebih suka ke kantin, merokok, pacaran, atau tawuran daripada duduk di perpustakaan untuk membaca beberapa halaman buku atau majalah. Begitu kakunya kondisi masyarakat dan minimnya minat baca membuat pendidikan bangsa ini semakin jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Melihat fakta-faktra tersebut, ada baiknya bangsa ini berkiblat pada Finlandia, negara yang sukses menduduki posisi teratas dalam bidang pendidikan berdasarkan survey PISA tahun 2003 lalu. Dari segi anggaran, Finlandia sedikit lebih tinggi dari negara lain, namun bukan yang tertinggi. Kegiatan sekolah juga hanya 30 jam per minggu. Tetapi guru-guru di Finlandia adalah pilihan dengan kualitas terbaik. Untuk menjadi guru jauh lebih ketat persaingannya daripada melamar Fakultas Hukum atau Kedokteran. Guru juga diberi kebebasan dalam kurikulum, text-book, hingga metode pengajaran dan evaluasi.
Sistem pendidikan Finlandia memang unik. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan akan tetapi merupakan bentuk perbaikan. Orientasi dibuat untuk tujuan-tujuan yang harus dicapai. Penekanan ada pada proses, bukan hasil. PR dan ujian tidak harus dikerjakan dengan sempurna, yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa.
Sejak awal, murid diajari bertanggung jawab mengevaluasi dirinya sendiri. Mereka didorong untuk bekerja secara independen. Guru tidak selalu mengontrol mereka. Proses pembelajaran berjalan dua arah. Suasana sekolah boleh dibilang jadi lebih cair, fleksibel, dan menyenangkan, namun efektif. Pada saat istirahat, para guru dan muridnya bermain LEGO robotic. Sehingga proses belajar tidak hanya berlangsung pada jam pelajaran saja, melainkan juga pada saat istirahat.
Guru juga tak pernah mengkritik murid yang justru dinilai membuat murid malu dan menghambat proses pembelajaran itu sendiri. Murid “boleh” melakukan kesalahan, namun guru akan memintanya untuk membandingkan dengan hasil sebelumnya. Memang tidak ada sistem ranking di sini sehingga siswa merasa confident dan nyaman terhadap dirinya. Ranking dipandang hanya membuat guru berfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan ke seluruh murid.
Finlandia sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Di Finlandia, perbedaan antara murid berprestasi baik dan murid yang kurang sangatlah kecil. Kata seorang guru di Finlandia, “Kalau saya gagal dalam mengajar seorang murid, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya!”

Ada Apa dengan UN?
Sesuai PP 19/2005, UN adalah indikator kelulusan. Sayangnya, hal tersebut justru menjadi momok bagi para peserta didik. apalagi dengan adanya standar kelulusan yang semakin ditingkatkan dari tahun ke tahun. Banyak murid cerdas diterima PTN (Perguruan Tinggi Negeri), tapi gagal dalam UN. Hal tersebut membuat mental para peserta didik terbebani. Jerih payah selama hampir tiga tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Andaikata tidak lulus, mereka terpaksa mengulang atau mengikuti ujian Paket C yang jelas merupakan ajang yang paling tidak bergengsi. Kondisi tersebut menghasilkan jargon “yang penting lulus”.
Sistem UN yang ada saat ini justru menimbulkan berbagai macam penyimpangan dan pengkhianatan terhadap hakikat pendidikan. Misalnya saja demi anak didik dan agar sekolah terangkat citranya, guru, kepala sekolah, dan bahkan pejabat daerah terlibat jadi “tim sukses”.
Di sisi lain, kualitas pendidikan bangsa ini memang sangat rendah. Dengan standar kelulusan yang masih jauh dibawah negara tetangga, masih ada saja peserta didik yang tidak lulus. Ketika banyak peserta didik yang tidak lulus, tidak menyebabkan adanya introspeksi, tetapi justru menjadi cambuk untuk menghalalkan segala cara agar lulus.
Lahirnya sistem UN di Indonesia juga tidak membantu terwujudnya pendidikan efektif di negeri ini. Pada dasarnya pengertian pendidikan efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan di sini berarti terjadi perubahan, baik perubahan pengetahuan maupun tingkah laku menjadi lebih baik. Dengan adanya UN, peserta didik cenderung belajar untuk lulus, bukan untuk peningkatan pengetahuan. Beberapa sekolah justru melakukan sistem pengajaran materi UN tiga bulan sebelum UN. Jadi selama tiga bulan para peserta didik hanya diajarkan bagaimana cara memecahkan soal-soal UN dan mengabaikan pendidikan moral dan pendidikan seni yang tidak di-UN-kan, seperti Pendidikan Agama, Kewarganegaran, Pendidikan Seni Musik, Rupa, atau Tari. Hal tersebut tentu saja akan mematikan kreativitas paserta didik dan menghambat pembentukan pribadi sesuai dengan fungsi pendidikan. Peserta didik cenderung lebih mampu memecahkan soal matematika, fisika, bahasa, dan lain-lain, daripada harus memecahkan persoalan bangsa.
Pada dasarnya pengadaan UN dengan standar kelulusan yang meningkat dari tahun ke tahun adalah untuk meningkatkan kualitas warga negara. Akan tetapi bila sarana, prasarana, dan sumber daya belum terkondisikan justru akan menyuburkan penyimpangan-penyimpangan pendidikan. Hal tersebut juga akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan pendidikan yang sebenarnya
Untuk menyikapi permasalahan tersebut, negara ini dapat bercermin pada beberapa negara maju. Murid yang lulus UN mendapat ijasah UN, sementara yang tidak hanya memperoleh ijasah sekolah atau tanda tamat belajar. Di Inggris, setelah pendidikan wajib 16 tahun, murid bisa langsung kerja atau ambil A-Level selama dua tahun untuk persiapan kuliah. Di akhir program ada tes nasional dimana murid yang mendapat nilai A pada mata pelajaran utama bisa langsung masuk universitas favorit seperti Oxford, Cambridge, Imperial College, dan sebagainya.

Penutup
Pada akhir tulisan ini, dengan kerendahan hati penulis mengajak pembaca untuk memaknai kembali hakikat pendidikan dalam mewujudkan salah satu tujuan nasional bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Mari kita tanyakan kembali pada hati nurani kita: Sudahkah kita memahami hakikat pendidikan yang sebenarnya? Apakah kita telah mampu mengaplikasikan pengetahuan kita dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud nyata kecerdasan? Benarkah sistem belajar yang selama ini kita terapkan? Sudahkah kita mengembangkan sikap positif dalam pribadi kita? Akhirnya perlu ditekankan kembali bahwa pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia, bukan hanya sekedar memperoleh gelar atau ijazah saja melainkan juga merupakan usaha untuk membentuk moral dan kepribadian anak didik. Tugas kita sebagai pendidik adalah berusaha mencerdaskan kehidupan bangsa dalam arti yang sebenarnya sehingga terbentuk pribadi-pribadi penerus bangsa yang sesuai dengan pancasila. Terbentuknya penerus bangsa yang cerdas akan semakin mempermudah bangsa ini untuk keluar dari krisis multi bidang seperti saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Siswoyo, Dwi, dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
http://pendidikanindonesia.blogspot.com/2005/04/hakikat-pendidikan.html.
http://sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.html.

No comments:

Post a Comment